Pernikahan Tanpa Anak

by Nidya Mawar Sari

Hidup adalah tentang pilihan; dari hal sederhana seperti pilihan untuk bangun atau tarik selimut dan tidur lagi, sampai pilihan yang cukup serius seperti mau kerja di mana. Berbagai pilihan selalu menghiasi kehidupan kita karena kita tidak diciptakan sebagai robot yang ‘hidup’ sesuai dengan program. Namun, ada kalanya kita melakukan sesuatu bukan karena kita mau tapi karena ‘memang sudah seperti itu seharusnya’. Termasuk hal memiliki anak dalam pernikahan. Jalan hidup seseorang umumnya adalah menjadi dewasa, bekerja, menikah dan punya anak. Bahkan doa dan harapan yang paling sering terdengar pada hari pernikahan adalah “Semoga cepet dapat momongan, ya!” Padahal belum tentu demikian harapan sang pengantin. 

Child-free marriage--sebutan untuk sebuah pernikahan tanpa anak--tentu saja berbeda dengan childless yaitu pasangan yang tidak dikaruniai anak dalam sebuah pernikahan. Sepasang  suami istri yang menganut child-free marriage secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka. Apakah benar memiliki anak adalah sebuah pilihan?  

Sebuah survey kecil dilakukan untuk mendapatkan pendapat tentang hal ini. Hampir 50% dari responden setuju bahwa memiliki anak adalah sebuah pilihan hidup. Mereka mengatakan asalkan sepakat antara suami dan istri, child free marriage bisa menjadi pilihan. Selanjutnya ada 20% responden yang tidak setuju, dan sisanya mengatakan setuju dengan beberapa alasan. Walaupun sedikit, tapi hal ini cukup menarik untuk disimak. Mereka mengatakan bahwa child-free marriage bukanlah pilihan apabila pasangan suami istri dalam keadaan yang sehat, baik secara fisik maupun mental. 

Memutuskan untuk tidak punya anak hanya karena alasan takut repot, takut gemuk, takut tidak bisa berkarier, takut biaya yang besar, dan takut tidak bisa menikmati hidup adalah kekeliruan. Bahkan ketakutan yang tampak rohani sekalipun—takut tidak bisa mengurus anak dengan baik, takut tidak bisa memberikan teladan hidup benar dan takut anaknya kelak meninggalkan Tuhan—adalah alasan yang tidak patut dibenarkan. Menurut salah satu responden, hal ini sama kelirunya dengan memutuskan untuk memiliki anak karena takut tidak ada yang menjaga saat mereka tua kelak. 

Keputusan yang diambil berdasarkan ketakutan bukanlah kehendak Tuhan. 

Lantas, alasan apa yang bisa diterima bagi pasangan yang memilih untuk berdua saja dalam pernikahan? Hasil survey menyebutkan beberapa hal. 

1. Keadaan fisik  

Apabila salah satu dari suami atau istri, atau keduanya memiliki penyakit yang dapat membahayakan nyawa calon ibu atau janin yang kelak akan dikandung. Kemajuan teknologi di bidang medis akan banyak membantu dalam menemukan masalah kesehatan tersebut sekaligus dapat memberikan jalan keluar. Jadi alasan ini pun perlu digumulkan dan didoakan dengan sungguh-sungguh. 

2. Usia  

Tentu saja ada beberapa resiko bagi seorang wanita yang hamil dan melahirkan di atas usia 40 tahun. Namun sekali lagi, Tuhan telah mengaruniakan teknologi yang semakin canggih untuk menolong pasangan pada usia ini yang tetap ingin memiliki anak. 

3. Kondisi mental  

Saat ada trauma masa lalu seperti pengalaman kekerasan dan pelecehan dari orang tua, hal ini harus dibereskan dahulu sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Saya teringat kepada tokoh Ayu dalam film ‘Cek Toko Sebelah 2’. Ayu kekeuh tidak mau memiliki anak. Hal itu membuat suami dan keluarga menjadi heran. Setelah ditelusuri, ternyata Ayu memiliki trauma masa kecil yang membuatnya benar-benar tidak siap memiliki anak.  

Trend child-free memang berangkat dari keputusan individu dalam satu unit terkecil yaitu keluarga. Namun, efeknya ternyata bisa berkembang ke skala yang lebih besar. Child-free yang semarak sudah mulai menimbulkan permasalahan dalam tingkat produktivitas pada satu negara. Sebut saja negara-negara seperti Italia, Swedia, dan Jepang yang mulai kelimpungan karena jumlah penduduk usia produktif makin lama makin menurun. Tentu saja ini menjadi ancaman bagi negara tersebut. Apa jadinya apabila sebuah negara tidak memiliki generasi muda yang cukup untuk meneruskan keberlangsungan negara tersebut? 

Bagaimana Firman Tuhan mengenai hal ini? Salah satu ayat yang seringkali diartikan sebagai sebuah perintah untuk mempunyai keturunan adalah Kejadian 1:28. 

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu.” 

David Maysusanto Pilipus, Yanto Paulus Hermanto, dan Ferry Simanjuntak dalam jurnalnya tentang Child-free marriage menyebutkan bahwa ayat tersebut bukan perintah secara individu melainkan perintah secara umum kepada manusia. Hal itu dikarenakan ada orang-orang tertentu yang atas kedaulatan Allah dipanggil untuk selibat dan tidak memiliki anak. (https://jurnalvow.sttwmi.ac.id/index.php/jvow/article/view/161/pdf ).  

Apakah itu artinya kita boleh sesuka hati memilih untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan? 

Memang ada anugerah khusus bagi beberapa orang yang dipanggil Tuhan untuk hidup selibat maupun menikah tanpa anak. Tidak semua wanita dipanggil untuk melahirkan anak-anak jasmani. Namun semua orang yang telah lahir baru, dipanggil untuk taat pada perintah Tuhan, salah satunya adalah untuk melahirkan anak-anak rohani. Firman Tuhan juga memerintahkan kita untuk menanggalkan manusia lama (Efesus 4:17-24) dan menyerahkan segala kekhawatiran kita kepada Tuhan (Filipi 4:6-7). Menanggalkan manusia lama artinya dengan semakin mengenal Kristus, kita berjuang untuk menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya, bukan keinginan dan pikiran kita sendiri. 

Jadi keputusan untuk tidak memiliki anak, tidak boleh berangkat dari kekhawatiran dan keegoisan kita. Firman Tuhan menuntun kita untuk mengambil keputusan dengan melibatkan Tuhan, bukan berdasarkan pengertian dan hikmat kita sendiri. Amsal 3:5 mengingatkan kita untuk percaya kepada Tuhan dan tidak bersandar pada pengertian kita sendiri. Apalagi mengambil keputusan dengan mengikuti cara pandang dunia ini. Roma 12:2 (TB) berkata: 

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. 

Akhirnya kita kembali kepada pertanyaan apakah child-free marriage diperbolehkan? Kalau hal ini adalah pergumulan yang sedang Pearlians hadapi, bawalah kepada Tuhan! Jangan mencari hikmat manusia! Carilah perkenanan Tuhan! Yakini bila Tuhan menaruh panggilan lain dalam hidupmu selain memiliki anak! Jalanilah itu sebagai anugerah yang sama indahnya dengan anugerah menjadi seorang ibu: dipanggil bukan untuk melahirkan anak-anak jasmani, melainkan untuk menghasilkan murid Kristus sesuai dengan amanat agung. 

Apabila ada kondisi fisik atau mental yang menghalangi Pearlians untuk menjadi seorang ibu, bicarakanlah dengan pasangan sebelum menikah! Kalau memang Pearlians dipanggil untuk menjadi ibu, namun ada tembok-tembok penghalang, bawalah itu kepada Tuhan! Minta Tuhan perjelas apa kehendak-Nya dalam hidup Pearlians. Mungkin Dia mengizinkan supaya Pearlians bisa melakukan hal lain lebih maksimal. Tidak ada hal yang lebih benar dan indah dijalani selain hidup seturut dengan panggilan Tuhan. 

In Christ, child-free marriage is not a choice, but a calling with a greater purpose. 

Previous
Previous

Tips Antimainstream Wajah Berseri-seri

Next
Next

Mungkinkah Menjadi Lajang Berkualitas dan Berbahagia?