Mungkinkah Menjadi Lajang Berkualitas dan Berbahagia?
by Poppy Noviana dan Tabita Davinia Utomo
"Aduh, lelah banget, nih, dengar pertanyaan yang gak berujung! Mulai dari pertanyaan:
'Kapan punya pacar?'
Kalau sudah punya pacar, pasti ditanya lagi:
'Kapan menikah?'
Lalu kalau sudah menikah, ada lagi pertanyaan-pertanyaan berikutnya:
'Kapan punya anak?'
'Kapan anaknya dikasih adik?'
'Ayo nambah lagi, kan belum ada yang laki-laki!'
Pokoknya gak ada habisnya, deh!"
Demikianlah curhatan salah satu teman kantor saya yang lelah dengan ekspektasi sosial atas dirinya.
Iya, ya. Ada kalanya pertanyaan-pertanyaan ini bisa menimbulkan rasa tidak aman terhadap lingkungan sekitar kita dengan berbagai tuntutan sosial yang diberikan. Rasanya kalau tidak bisa memenuhinya, maka kita akan dianggap “aneh”, padahal kita juga memiliki realitas yang tidak bisa dihindari—misalnya sulit untuk mencari jodoh karena lingkungan yang terlalu sempit. Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa memberikan tekanan tersendiri, sehingga kita merasa tidak berdaya dan menganggap tidak ada seorang pun yang dapat memahami kita. Hmmm… Apakah Pearlians pernah—atau sedang—merasakan hal yang sama?
Sebagai makhluk hidup dengan akal budi, kita memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hidup kita. Namun, seringkali kebebasan kita ini dibayang-bayangi oleh kesenjangan antara kondisi aktual diri kita dengan ekspektasi sosial. Tidak heran jika kita kelelahan dan tertekan karena terhimpit oleh kesenjangan tersebut, sehingga—kalau tidak waspada—secara frontal, kita merasa keputusan untuk tetap hidup melajang adalah hak kita. Kita berhak untuk melakukan apa pun yang kita inginkan! Demikian yang dunia ajarkan.
Di sisi lain, kita punya alasan lain untuk hidup melajang karena takut menambah beban hidup, takut menjadi orang tua, takut berkomitmen, takut gak bisa bebas berkarier, dan ketakutan-ketakutan lainnya. Ketakutan semacam ini adalah hal wajar bagi dunia, tetapi Tuhan tidak menghendaki kita hidup dalam ketakutan yang tidak rasional dan dalam jangka panjang.
Sayang sekali jika aneka ketakutan serta agenda pribadi kita menjadi dasar keputusan untuk tetap melajang! Ketakutan itu akan menyebabkan kita kehilangan banyak kesempatan untuk bertumbuh menjadi versi terbaik diri kita yang sebenarnya Tuhan rencanakan. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya, pernikahan adalah rancangan dan inisiatif Tuhan.
TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
(Kejadian 2:18 TB)
Kalimat “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” menunjukkan bahwa Tuhan melihat adanya kebutuhan akan pasangan hidup yang sepadan dalam diri manusia. Karena itulah, Tuhan menciptakan pasangan bagi laki-laki yang akan menjadi penolong baginya. Inisiatif Tuhan ini dilanjutkan dengan eksekusi hingga final, yaitu setelah menciptakan perempuan, Tuhan sendirilah yang membawa perempuan itu kepada laki-laki setelah menciptakan segala sesuatu yang mereka perlukan.
Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
(Kejadian 2:22 TB)
Ketika kedua manusia itu dipertemukan oleh Allah, respons mereka adalah memuliakan Allah. Adam mengatakan “Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.” Ada rasa syukur dan puas ketika Adam menerima pemberian yang baik dari Tuhan, yaitu pasangan hidup yang sepadan dengan dia. Bersama pasangannya, Adam dapat mengerjakan mandat yang Tuhan berikan dalam Kejadian 1:28 untuk beranak cucu dan bertambah banyak serta menguasai bumi. Baik Adam maupun Hawa sama-sama bertumbuh saat bekerja sama mengerjakan mandat Tuhan tersebut.
Rancangan Tuhan yang begitu indah ini kadang kita abaikan karena berbagai alasan. Kita berdalih bahwa untuk bertumbuh menjadi versi terbaik diri kita tidak selalu harus melalui pernikahan. Ya, setuju banget Ladies! Memang ada banyak cara untuk bertumbuh semakin baik. Bahkan ada orang-orang yang dipanggil untuk hidup selibat atau tidak menikah, dan mereka pun tetap terus mengalami pertumbuhan iman. Namun, kita perlu menggali lagi apa sebenarnya alasan kita tetap hidup melajang.
Berikut beberapa alasan teman saya yang memutuskan tetap hidup melajang:
Karena saya takut kehilangan lagi.
Karena saya takut gagal lagi.
Karena saya tidak melihat pernikahan sebagai ide yang baik bagi masa depan saya, akibat trauma masa lalu saya yang tumbuh dari keluarga broken home.
Ada alasan yang seolah-olah terdengar wajar bila akhirnya membuat ide pernikahan menjadi bias dan pernikahan merupakan suatu kesuraman bagi mereka yang masih bergumul dengan luka batin dalam dirinya. Sebagai anak-anak Tuhan, lantas langkah seperti apa yang dapat kita lakukan selama hidup melajang? Kita perlu melatih diri untuk hidup sebagai wanita lajang yang penuh syukur, a healthy single without fear but content in God alone!
Inilah tiga langkah sederhana yang akan menolong kita dalam masa lajang untuk bisa menjalani hidup yang berkenan di hadapan Tuhan:
1. Mengenali diri sendiri
Tanpa mengenali diri sendiri secara mendalam, kita akan sangat sulit mengetahui hal apa yang perlu dilakukan untuk memulihkan trauma atau ketakutanmu, khususnya tentang pernikahan. Mari kita mencoba mengingat perjalanan hidupmu sejak kecil dan belajarlah lebih terbuka kepada orang yang tepat seperti sahabat yang dewasa rohani. Bila perlu, kita bisa menemui konselor untuk menolongmu. Sebab, dalam keterbukaan terdapat pemulihan yang menyehatkan.
Analogi sederhana ini mungkin dapat menolongmu memahaminya:
Pada saat akan pergi ke suatu tempat menggunakan digital maps, hal pertama yang harus diinformasikan adalah posisi Pearlians saat itu, baru kemudian lokasi yang ingin dituju. Dengan demikian, barulah aplikasi tersebut dapat beroperasi untuk mengarahkan Pearlians menentukan langkah-langkah menuju tujuan akhir.
Analogi ini mirip dengan apa yang perlu kita lakukan dalam hidup. Ketika kita bersedia mencari tahu dan memahami kondisi yang terjadi saat ini, lalu mengakuinya sebagai kesulitan yang perlu dihadapi, kemudian meminta pertolongan kepada orang yang tepat, maka kita sedang menolong diri sendiri dan orang lain untuk berespons dengan tepat atas kondisi tersebut.
Kita ambil contoh dari keputusan lajang di atas; mungkin sebelumnya kita beranggapan bahwa melajang itu baik dan tidak merugikan siapa pun. Namun, setelah ditelusuri lebih jauh, kita baru mengetahui bahwa keinginan melajang itu didasari oleh pengalaman traumatis ketika melihat perselingkuhan ayah sendiri dan menyebabkan ibu kita merasa terkhianati. Setelah mengetahuinya, kita tidak bisa membiarkan trauma tersebut menghantui masa depan. We need to be healed, right? Tentu proses untuk mengenali hal ini membutuhkan waktu dan ada kalanya menyakitkan. Namun, rasa sakit dalam menjalani proses pemulihan gambar diri ini berharga untuk diperjuangkan bersama Allah (lihat Mzm. 147:3).
2. Berpegang pada Firman Kebenaran
Kita hanya bisa mengenal diri sendiri dengan benar saat kita mengenal Allah—khususnya melalui hubungan pribadi dengan-Nya yang dibangun setiap hari. Oke, kita tidak bisa menyangkali bahwa kenyataan hidup yang pahit mengaburkan cara pandang kita terhadap Allah, sehingga kebenaran Firman di dalamnya hanya berhenti sebagai sebuah pengetahuan. Dalam situasi seperti itu, rasanya sulit untuk menerima Firman Allah dan mengalami perubahan hidup secara nyata karena kita merasa ayat-ayat di dalamnya hanyalah untuk orang lain, bukan kita. Kabar baiknya, Allah memahami pergumulan batin yang demikian. Namun, Ia juga rindu agar kita bersedia membuka hati menerima kehadiran-Nya yang sanggup memuaskan relung jiwa yang haus akan kasih dan penerimaan yang sejati. Kisah wanita Samaria adalah salah satu contoh seorang wanita yang memiliki masa lalu kelam mengalami pemulihan melalui percakapannya dengan Yesus (Yoh. 4:1-43).
Pengenalan kita akan Allah itu akan menyatakan kebenaran yang membuatmu mampu melihat diri sendiri dari kacamata ilahi, yaitu sebagaimana Allah memandangmu. Yesus berkata: "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu. (Yoh. 8:31-32). Identitasmu tidak terletak pada masa lalumu atau pada tuntutan dan perkataan manusia. Identitasmu ada pada siapa Penciptamu. Jadi Pearlians, marilah kita bertekun dalam pengajaran Firman Tuhan agar semakin mengenal Allah dan diri sendiri!
Pearlians dapat membuka beberapa ayat Firman Tuhan berikut ini yang menyatakan identitas dirimu sesungguhnya di hadapan Tuhan:
Yesaya 43:4-5 – Pearlians berharga dan mulia dan dikasihi Allah.
1 Petrus 2:9 – Pearlians telah dipisahkan dan dikuduskan bagi Allah.
Mazmur 139:13-16 – Pearlians adalah ciptaan-Nya yang sempurna.
Mazmur 139:1-4 – Allah mengenal Pearlians secara detail.
Kolose 2:13-14 – Allah telah mengampuni Pearlians.
Yohanes 1:12-13 – Pearlians adalah anak Allah.
1 Yohanes 3:1 – Pearlians dikasihi Allah dan diangkat menjadi anak-anak-Nya.
2 Korintus 5:17 – Di dalam Kristus, Pearlians adalah ciptaan baru.
Semua identitas diri kita yang benar akan sulit dimengerti—apalagi diimani—bila sampai saat ini kita masih memusatkan perhatian pada ketakutan terhadap penolakan akibat pengalaman masa lalu. Iya, sekali lagi, memprosesnya membutuhkan waktu, menghadapi dan menerima kenyataan yang tidak bisa diubah juga tidak selalu mudah untuk dilalui. Justru di sinilah anugerah dan belas kasihan Allah dinyatakan, bahkan melalui kehadiran orang-orang di sekitar yang bersedia menolong kita untuk mulai menumbuhkan trust kembali sebelum membuka hati. Namun, kita perlu datang kepada Tuhan, meminta-Nya membuka pikiranmu untuk memahami firman-Nya dan percaya pada-Nya. Kelak, saat kembali melihat lembaran kelam ini, kita akan bersyukur atas kehadiran Allah yang mewarnai perjalanan iman kita.
3. Mengucap syukur kepada Tuhan dan melayani-Nya
Saat terlatih untuk mengucap syukur, pelan-pelan kita dapat mengendalikan kekhawatiran bersama Tuhan (lihat Filipi 4:6-7, 13). Ketika hati kita dipenuhi rasa syukur, maka fokus kita bukanlah pada kekurangan yang dimiliki, melainkan pada kemurahan dan kuasa Allah yang bekerja atas kita serta kecukupan yang dilimpahkan-Nya hingga hari ini. Rasa syukur akan membawa kita semakin mengerti kehendak dan rencana Allah bagi hidup kita. Ya, dengan melatih diri untuk bersyukur, kita dimampukan Allah untuk melihat sesuatu dari sudut pandang lain—yang mungkin selama ini tidak kita sadari sebelumnya karena terbiasa mengeluh. Sharing dari Kak Glory ini adalah salah satu contohnya yang pernah dibagikannya di Majalah Pearl.
Selain mengucap syukur, kita juga perlu menyediakan diri untuk melayani Tuhan—apa pun status dan latar belakang kita. Kesempatan untuk melayani Tuhan adalah anugerah (lihat 1 Korintus 15:10, Efesus 2:8-10, Titus 2:12-14). Artinya, Tuhanlah yang melayakkan kita untuk melayani-Nya, bukan karena masa lalu atau kebaikan yang kita lakukan. Sebagai lajang, kita justru memiliki kesempatan dan daya yang lebih besar untuk melayani Tuhan. Ada beberapa orang percaya yang melayani Allah sebagai wanita lajang, di antaranya adalah seorang perawat bernama Florence Nightingale, dan seorang Corrie ten Boom (kisah mereka bisa disimak di sini).
Allah sanggup memakai apa pun yang ada pada diri kita dan bagaimana pun keadaannya untuk menyatakan kemuliaan-Nya—jika kita bersedia menyerahkannya kepada-Nya. Mari mengucap syukur atas seluruh keberadaan diri kita dan memberikannya untuk dipakai oleh Tuhan. Baik saat masih lajang maupun setelah memiliki pasangan, hidup kita adalah untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Mari, kita melayani Allah senantiasa dalam setiap musim kehidupan yang diizinkan-Nya hadir!