Loving Your Spouse 101 #Part 2
by Sandra Priskila
Klik di sini untuk membaca bagian pertama dari artikel ini
Minggu lalu, kita telah belajar tentang bagaimana seharusnya kita menyatakan cinta kepada Tuhan melalui seluruh aspek kehidupan kita—termasuk di dalam pernikahan. Hari ini, kita akan belajar bagaimana mencintai pasangan sesuai dengan “hukum terutama yang kedua”.
Mencintainya seperti Mencintai Diri Sendiri
“Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini,” begitulah bunyi Markus 12:31, sebagai hukum yang terutama, poin yang kedua. Seperti yang telah kita pelajari bersama minggu lalu, hukum ini memberikan pesan bahwa taat kepada Tuhan tidak hanya berarti mematuhi perintah dan menjalankan ritual keagamaan, melainkan melampaui itu: mengasihi Tuhan dan sesama sebagai hukum yang terutama. Dengan demikian, orang Kristen diajak untuk memiliki gaya hidup dengan level yang berbeda dari orang beragama lainnya, yaitu gaya hidup yang mencintai.
Bagi murid Kristus, saling mengasihi adalah sebuah perintah, bukan pilihan (Yoh. 13:34-35). Ketika murid Kristus saling mengasihi, mereka akan menjadi kesaksian bagi Kristus kepada dunia. Ketika sepasang murid Kristus saling mengasihi dalam pernikahan, maka relasi mereka akan menjadi kesaksian yang baik akan bagaimana sebetulnya kehidupan murid Kristus yang semakin hari semakin serupa dengan Kristus. Dalam bab ini, Gary Thomas menuliskan bahwa, “... Tuhan mau saya memberi diri untuk menyenangkan istri saya.”
Mencintai diri sendiri dapat berarti menerima dan menghargai diri sebagaimana adanya diri kita dengan segala kelebihan dan kekurangan kita, tetapi juga dapat berarti sebuah bentuk keegoisan karena hanya memperhatikan diri sendiri. Mencintai pasangan seperti kita mencintai diri kita selayaknya dilakukan dalam pengertian yang pertama: menerima dan menghargai dia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ini juga mengisyaratkan bahwa untuk mencintai pasangan, sebagaimana kita mencintai diri sendiri, juga membutuhkan pengorbanan. Dapatkah kita mencintai pasangan kita ketika wajahnya mulai berkerut? Dapatkan kita mencintai pasangan kita ketika ia lagi-lagi tidak menaruh baju kotor dalam ember cucian? Dapatkan kita mencintai pasangan kita ketika ia diberhentikan dari pekerjaannya? Dapatkah kita mencintai pasangan kita ketika ia harus merawat orang tuanya yang sakit sehingga jarang memperhatikan kita?
Kita perlu berkorban waktu, tenaga, konsentrasi, dan niat untuk mau terus-menerus mengenalnya agar dapat menerima dan menghargai pasangan. Pengenalan akan diri pasangan akan menuntun pada proses penerimaan, hingga pada akhirnya kita dapat menghargai dan mencintainya sekalipun hal-hal tersebut adalah bagian yang sulit kita terima. Pengorbanan ini juga berarti kita berusaha memberikan diri kita untuk memperhatikan pasangan, bukan bersikap egois dengan peduli akan diri kita sendiri saja. Kita berfokus kepada diri pasangan dengan cara ingin selalu mengenalnya. Apakah kita sudah memahami dalam keluarga seperti apa ia dibentuk? Apakah kita sudah mengenali kejadian-kejadian traumatis yang ia alami? Apakah ia memiliki masa lalu yang buruk? Apakah ada aspek-aspek tertentu yang bisa memengaruhi perannya sebagai pasangan maupun orang tua dalam keluarga kita?
Menerima diri sendiri bukanlah hal yang mudah, apalagi menerima pasangan. Namun, tangan Tuhan tak pernah kurang panjang untuk menolong kita dan telinga-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar permohonan kita (Yes. 59:1). Oleh karena itu, mari kitabelajar percaya bahwa Tuhan akan memampukan kita menjadi pasangan yang mencintai pasangan kita dengan menerimanya seperti menerima diri kita sendiri. Kita perlu senantiasa memohon kepada Tuhan tiap harinya agar kita, mulai hari ini, dapat mencintai pasangan sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri.
Mencintainya seperti Seorang Sahabat
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Ams. 17:17)
Dalam bab ini, Gary Thomas menceritakan kisah pernikahan Dr. Barger dengan istrinya, Susan. Ketika akhirnya Susan meninggal karena mengidap kanker stadium akhir, Dr. Barger menyadari bahwa dirinya telah mengalami sesuatu yang tak banyak orang lain alami, “...yaitu sebuah persahabatan sejati, sebuah kebersamaan yang menyentuh relung jiwa.” Betapa indahnya relasi ini!
Cinta yang berkobar-kobar seperti nyala api kebakaran tentu tidak bertahan lama dalam pernikahan. Cinta yang stabil, sebagaimana api tungku yang selalu dijaga agar tetap menyala, adalah cinta yang dapat bertahan melalui ujian waktu dan gelombang kehidupan. Cinta yang stabil inilah yang dibutuhkan dalam menjaga persahabatan dengan pasangan kita.
Seorang bapak yang saya kenal pernah berkata demikian, “Nanti kalau sudah tua, apa yang bisa kita lakukan dengan pasangan kita? Anak-anak sudah tidak di rumah, sudah berkeluarga sendiri-sendiri. Pasti sudah tidak sekuat dulu untuk jalan-jalan bersama. Sudah sulit untuk melakukan hal lain yang disukai. Yang paling mungkin dilakukan, ya, ngobrol.” Saya rasa ini betul. Ketika sudah tidak ada yang bisa dilakukan karena kekuatan fisik mulai memudar, pasangan suami-istri akan banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol. Namun, jika tidak terbiasa, kita juga bisa canggung bahkan mengobrol dengan pasangan sendiri.
Mengobrol merupakan sebuah kegiatan yang wajar dilakukan oleh siapa saja, terutama orang-orang yang berelasi secara dekat seperti sahabat atau keluarga. Dengan mengobrol kita dapat menyampaikan pendapat atau perasaan kita, sekaligus memahami apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh lawan bicara kita. Kita juga dapat lebih mengenalnya: apa yang dia sukai, nilai apa yang dia miliki, atau seperti apa pengalamannya yang paling memalukan. Menemukan kesamaan dan perbedaan melalui obrolan sangatlah menarik sekaligus menyenangkan. Kita dapat menemukan apakah kita cocok berelasi dengan orang ini ataupun tidak. Kita dapat mengetahui dalam hal apa kita tidak bisa setuju dengannya. Dengan kata lain, kita dapat membangun keselarasan dalam persamaan dan belajar mengenali serta menerima ketidakselarasan dalam perbedaan yang ditemukan.
Persahabatan adalah relasi awal dari pacaran dan dapat berujung pada pernikahan. Sebelum memutuskan bahwa pasangan adalah orang yang cocok dengan kita, tentu kita perlu mengenalnya secara lebih mendalam. Pengenalan melalui obrolan dapat dibiasakan sejak mulai bersahabat hingga memasuki kehidupan pernikahan. Kebiasaan yang dibangun ini tentu akan menjadi hal yang baik untuk menjaga relasi pernikahan kita agar tetap dapat menjadi sahabat untuk pasangan kita di tengah peran sebagai suami, istri, maupun orang tua.
Kekuatan cinta seorang sahabat dapat membuat seseorang melindungi sahabatnya dari ancaman, seperti Yonatan melindungi Daud (1 Sam. 20). Kekuatan cinta seorang sahabat bahkan dapat membuat seseorang menyerahkan nyawa untuk sahabatnya, seperti Yesus (Yoh. 15:13). Kekuatan cinta seorang sahabat memampukannya selalu mencintai sahabatnya, bahkan di tengah kesukaran sekalipun, seperti dituliskan oleh Salomo (Ams. 17:17). Cinta seorang sahabat memiliki dimensi yang berbeda dengan cinta bergairah yang umumnya dirasakan oleh pasangan. Cinta seorang sahabat memampukan seseorang menjaga cintanya terhadap sahabatnya dan melakukan segala sesuatu yang dia bisa untuk sahabatnya. Cinta seorang sahabat ini sangatlah diperlukan dalam pernikahan agar pasangan dapat saling melindungi dan memberikan diri terutama dalam situasi yang sulit.
Pearlians, kebencian dapat muncul dengan sendirinya, tetapi cinta perlu diusahakan. Seperti yang dituliskan dalam bab tentang belajar mencintai ini, “Dalam konteks pernikahan, kita tidak memiliki alasan apapun untuk menghindari tugas ini.” Semakin kita memahami, kita akan mengetahui betapa sulitnya mencintai sehingga kita harus terus-menerus belajar untuk melakukannya. Tuhan yang baik dan beranugerah memberikan konteks yang sangat baik dalam pernikahan supaya kita dapat belajar mencintai dan menguji cinta kita. Dengan belajar mencintai pasangan, kita juga belajar mencintai Tuhan, diri sendiri, dan sesama. Dengan semakin mencintai, kita dapat menjadi kesaksian bagi dunia bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh cinta.