Jadi Kudus itu (Nggak) Enak!

by Tabita Davinia Utomo 

Kalau bicara tentang “hidup yang dikuduskan”, apa yang langsung terbayang di benakmu?

Harus hidup dengan pakaian serba tertutup dari atas sampai ke bawah?

Hanya mau mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu rohani?

Hanya mau bergaul dengan sesama orang Kristen?

Hanya memakan makanan yang “halal”?

Mungkin masih ada pikiran-pikiran lain yang bermunculan, sampai akhirnya ada satu pertanyaan yang—sebenarnya—ingin dihindari, tapi hati kita tidak bisa berbohong:

“Kok, rasanya jadi orang Kristen berat amat, ya?”

Sebaliknya, bagaimana kalau ada pemikiran di sisi ekstrim yang lain?

“Kan, udah jadi Kristen, udah pasti selamat dari kematian kekal. Jadi boleh, dong, hidup suka-suka?”

“Ah, Tuhan, kan, cuma minta kita percaya aja sama Dia. Beres. Ibadah pas ke gereja aja udah cukup. Ga perlu ikut ritual ini-itu.”

Lalu, muncullah pikiran, “Enak, ya, jadi orang Kristen. Percaya Tuhan Yesus, langsung selamat.”

Bayangkan jika kamu sedang menderita penyakit langka dan obatnya dijual dengan harga yang sangat mahal. Sekeras apa pun usaha untuk mendapatkan dananya, biaya yang dibutuhkan tidak akan terpenuhi. Sampai suatu hari, sang penemu obat tersebut berinisiatif memberikannya secara gratis kepada kita. Iya, gratis, dan probabilitas kesembuhannya juga 99%. Namun, obat tersebut membutuhkan pengorbanan diri beliau, karena ada organ tubuhnya yang harus dicangkokkan ke tubuh kita. Singkat cerita, kita sembuh dan bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala, sementara sang penemu obat itu meninggal (iya, aku tahu ini ilustrasi yang hiperbola). Pertanyaannya, apakah setelah itu kita akan sebodo amat dengan kesehatan kita? Hm, aku rasa enggak. Jika benar keadaannya demikian, tentu kita akan lebih berhati-hati dalam menjaga pola makan, pola istirahat, rajin berolahraga, dan mencoba membangun kebiasaan-kebiasaan baru yang baik (misalnya, tidak overthinking atau rajin bersyukur). Tujuannya jelas: agar kita tidak sakit lagi, karena kita tahu bahwa biaya pengobatannya sangat mahal dan hanya bisa “ditebus” oleh sang peneliti yang berinisiatif merelakan nyawanya demi kita.

Jauh lebih besar (dan mulia) dari pengorbanan dalam ilustrasi di atas adalah pengorbanan yang tidak bisa kita gantikan dengan apa pun yang ada di dunia ini. Harta yang banyak tidak akan cukup untuk bisa menyelamatkan kita dari kematian kekal. Yaps, kematian ini sebenarnya adalah kita akan hidup selama-lamanya TETAPI TERPISAH DARI ALLAH. Sebagai manusia yang diciptakan untuk memuliakan dan menikmati Dia, kematian kekal adalah tragedi terbesar yang akan kita alami jika kita hidup di luar Yesus Kristus, Sang Juru selamat (Yohanes 15:1-8).

Tapi, kekristenan kita tidak berhenti setelah kita diselamatkan, karena Allah sendiri telah memberikan perintah agar kita tetap mengerjakan keselamatan itu dengan takut dan gentar (Filipi 2:12-13). Kehidupan di dalam Kristus identik dengan pengudusan yang berlangsung seumur hidup. Artinya, meskipun telah diselamatkan oleh kasih karunia Allah, kita tidak berhak untuk hidup sesuka hati sendiri, karena ada pekerjaan baik yang Dia ingin untuk kita lakukan (Efesus 2:8-10). Ini bukan menunjukkan bahwa Allah sedang ingin mengadakan kompensasi, “Yak, kamu udah aku selamatkan, lho. Sini, bayar darah-Ku dengan kerja rodi.” Nggak gitu. Toh Allah ingin agar kita menjalani kehidupan yang berkenan di hati-Nya TANPA PAKSAAN. Sebagai Pencipta, Dia memberikan kita kebebasan untuk memilih kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani—meskipun masih ada kemungkinan untuk jatuh ke dalam dosa yang sama lagi dan lagi. Fakta ini pula yang Adam dan Hawa tidak bisa menangkapnya (sudah dijelaskan melalui artikel-artikel Pearl lainnya. Bisa dicek, ya). Mereka justru memilih kehidupan dengan standar yang mereka tetapkan sendiri, bahkan mungkin saja “kekudusan” termasuk di dalamnya.

“Jadi, hidup kudus itu enak, nggak?”

Jawaban dari pertanyaan ini adalah tergantung dari mana kita melihat kekudusan itu sendiri. Kalau kita menganggapnya sebagai satu set peraturan yang menghambat kehidupan kita, maka proses pengudusan akan dijalani dengan hati yang bersungut-sungut. Sebaliknya, kesadaran bahwa kekudusan adalah satu bentuk karya Allah yang dilakukan-Nya untuk menjadikan kita makin serupa Kristus akan mendorong kita untuk menikmati proses tersebut—meskipun tidak mudah. Iya, ada kalanya kita akan mengalami jatuh-bangun (namanya juga manusia, bukan malaikat haha), dan kegagalan demi kegagalan bisa saja terjadi danmembuat kita putus asa. Namun, di dalam proses pengudusan inilah kita bisa melihat kehadiran Tuhan yang setia menopang kita, dan dari situlah kita—dengan iman—berkata bersama Paulus:

“Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” (2 Korintus 12:10)

Kita kuat untuk menjadi orang percaya bukan karena mengabaikan kelemahan diri, tetapi justru menyerahkan diri kepada Tuhan sebagai bentuk komitmen kita untuk diproses di dalam kekudusan.

Jadi, nikmatkah hidup di dalam kekudusan itu?

Mari kita berproses bersama untuk menemukan jawabannya :)

Previous
Previous

Fight for Holiness

Next
Next

When Hope Came Down*