Memang Kita Berbeda
by Glory Ekasari
Tenang, ini bukan post tentang tips memutuskan hubungan dengan pacar. Kalau tentang itu, semoga suatu hari nanti ada artikel khusus di Pearl. 😉
Di Indonesia, semua orang wajib beragama. Namun bagi banyak orang, agama itu hanya berhubungan dengan hal-hal eksternal, sehingga kita sering mendengar, “Semua agama sama saja.” Ya, rasanya semua agama itu mengajarkan hal-hal positif mengenai moral, masing-masing punya kode berpakaian sendiri, tata cara ibadah sendiri, biasanya punya ritual sendiri yang berhubungan dengan ibadah dan doa-doa, dsb. Seseorang bisa memilih mana yang sekiranya cocok dengan seleranya atau sesuai kebutuhannya (misalnya, mau menikah dengan orang beragama tertentu).
Ini sama persis dengan yang terjadi di Israel dahulu (bahkan dalam kehidupan umat Allah sampai sekarang). Bangsa Israel menyadari bahwa mereka sampai dibuang ke Babel karena dosa-dosa mereka, karena ketidaktaatan mereka kepada hukum Allah. Nah, setelah kembali dari Babel, mereka berusaha menaati hukum Allah sedetail mungkin—maka lahirlah golongan orang Farisi. Mereka memperhatikan jam-jam doa, tatanan rambut, jubah yang dipakai, juga jenggot mereka, daftar panjang tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada hari Sabat, tata cara ibadah, doa-doa yang diulang-ulang, dan seterusnya. Singkatnya, hubungan mereka dengan Allah menjadi entitas yang kita kenal dengan nama agama, dan agama ini menjadi cangkang eksternal—seperti yang terjadi di dalam kehidupan beragama di dunia ini.
Lalu, apakah kekristenan juga hanya satu dari banyak agama yang bisa dipilih? Kita harus bertanya: apakah ini yang Tuhan inginkan? Apakah cara berpakaian kita yang menjadi perhatian utama Tuhan? Apakah urut-urutan doa hafalan yang kita panjatkan itu penting bagi Tuhan? Apakah semuanya hanya masalah liturgi? Apakah kekristenan kita hanya cangkang eksternal—yang penting apa yang kelihatan dari luar?
Saya pernah melihat sebuah handphone yang saya sangka merk yang mahal, tapi ternyata itu hanya casing-nya saja. Handphone-nya sendiri ternyata murah. Ini tentu mengecewakan sekali, tetapi banyak orang seperti itu. Casing-nya bagus, tapi dalamnya tidak bernilai; giat dalam hal kegiatan eksternal beragama, tetapi tidak ada value di dalamnya. Mengenai hal ini, Tuhan Yesus mengutip nabi Yesaya ketika Ia menegur bangsa Israel:
Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”
(Markus 7:6-7)
Bahkan orang Farisi—golongan yang sepertinya paling taat menjalankan aturan hukum Taurat sampai yang sekecil-kecilnya—justru menerima teguran paling keras dari Tuhan:
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan!
(Matius 23:27-28)
Dari perkataan Tuhan, kita tahu bahwa bukan jubah agama yang Tuhan inginkan; bukan penampilan luar yang terpenting bagi Tuhan. Lantas apa? Ketika Tuhan Yesus ditanya, perintah apa yang paling utama dalam seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi, Ia menjawab:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.”
(Matius 22:37-38)
Bayangkan sebuah mata air yang memancar keluar dan mengalir menjadi sungai kecil, yang makin lama makin besar. Mata air itu adalah kasih kita kepada Allah. Sungai yang makin lama makin besar itu adalah hasil dari pencaran mata air, dan itulah ketaatan kita kepada Allah. Tuhan pertama-tama tidak melihat sungainya dulu, Ia melihat mata airnya. Apakah kita mengasihi Dia? Apakah kita memiliki hubungan pribadi dengan Dia?
Bila kita mengasihi Tuhan, maka sungai yang terpancar dari mata air itu adalah kehidupan yang kudus. Jangan bayangkan kekudusan sebagai sesuatu yang asing (wajah bersinar-sinar, ada sayap malaikat, kaki tidak menyentuh tanah, dsb). Kehidupan yang kudus berarti ketaatan kepada Allah. Kita memilih untuk menuruti Allah dan tidak menuruti dunia. Mengapa? Karena kita mengasihi Dia. Kita percaya kepada firman Tuhan, bukan kepada tawaran dunia. Mengapa? Karena kita mengasihi Dia. Orang-orang kudus adalah orang-orang yang hidup di dunia, tetapi tidak termasuk orang dunia.
Kita melihat pola yang sama dalam kisah bangsa Israel. Mereka tidak langsung dihujani berbagai peraturan, tetapi Tuhan lebih dulu mengikat perjanjian dengan mereka. Permintaan Tuhan pada mereka sama dengan permintaan Tuhan kepada kita: “Kasihilah TUHAN, Allahmu” (Ulangan 6:5). Sesudah itu, Tuhan menjelaskan seperti apa kehidupan mereka yang Ia kehendaki. Mereka tidak boleh hidup seperti bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan; mereka harus berbeda, harus terhormat, harus menjadi teladan secara moral dan spiritual. Dan lewat mereka, bangsa-bangsa lain akan mengenal Tuhan yang benar. Karena itu Tuhan berkata,
Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus.
(Keluaran 19:5-6)
Imam adalah perantara antara manusia dengan Allah. Itulah peran Israel: mereka memperkenalkan Allah kepada dunia, dan melalui mereka dunia akan datang kepada Allah. Sekarang, kehormatan ini menjadi milik kita juga. Kita, yang mewarisi iman Abraham, adalah anak-anak Allah juga di dalam Tuhan Yesus. Karena itu rasul Petrus menulis:
Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.
(1 Petrus 2:9)
Dengan kehidupan kita yang kudus (sekali lagi, hidup kudus artinya hidup dalam ketaatan kepada Allah) kita memperkenalkan Allah kepada dunia. Kita menunjukkan kepada mereka, seperti apa kehidupan orang-orang yang mengasihi Tuhan Yesus. Inilah panggilan kita.
Saya ingat ketika masih remaja, saya membaca tentang seorang artis rohani yang menjelaskan bahwa dia merokok dan minum minuman keras untuk menjangkau orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Namun sekarang. saya mengerti bahwa itu alasan yang tidak bisa diterima. Kita memang harus bersaksi tentang Tuhan Yesus, tetapi bukan dengan cara meniru gaya hidup orang-orang yang tidak mengenal Dia! Mengasihi sesama bukan berarti setuju dengan gaya hidup mereka. Menjadi teman mereka bukan berarti mengikuti apa yang mereka lakukan. Tuhan Yesus memberi teladan bagi kita: Dia menerima orang-orang berdosa, tetapi tidak mengikuti gaya hidup mereka. Ketika orang melihat Dia, mereka melihat kasih-Nya, sekaligus menyadari bahwa mereka harus bertobat. Begitu pula seharusnya dengan kita. Kepada siapa dunia harus berpaling saat mereka ingin melihat seperti apa Tuhan Yesus itu, kalau bukan kepada pengikut-Nya? Kalau pengikut Yesus tidak ada bedanya dengan dunia… apa kata dunia?
Sekalipun Israel dipanggil menjadi imam bagi bangsa-bangsa lain, mereka harus hidup berbeda dari bangsa-bangsa lain. Kejatuhan Israel terjadi saat mereka meniru, makin mirip, dan akhirnya tidak ada bedanya dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Kita bisa belajar dari pengalaman mereka dan tidak perlu melakukan kesalahan yang sama. Kitalah imamat yang rajani, bangsa yang kudus, yang berbeda dengan mereka yang tidak mengenal Allah, yang diberi anugerah untuk memperkenalkan Tuhan kepada mereka. Tidak perlu cemas kalau kita dianggap aneh oleh dunia, karena memang kita berbeda.