Menghitung Hari dan Menjadi Bijaksana
by Mekar Andaryani Pradipta
Setiap kali membaca Amsal 31, saya membayangkan seorang wanita dengan banyak sekali hal yang harus dia lakukan. Dalam konteks perikop ini, tentu saja semua hal itu berkaitan dengan perannya sebagai seorang istri. Dia menyediakan makanan, mengurus ladang, membuat permadani dan kain, bahkan masih sempat memperhatikan mereka yang hidupnya belum seberuntung dirinya. Kadang-kadang, saya bertanya-tanya bagaimana dia mengatur waktu dan kekuatannya untuk mengerjakan semua kesibukan itu?
Tuhan memberikan waktu dalam porsi yang sama kepada semua orang. Tepat 24 jam, tidak kurang tidak lebih. Walaupun demikian, ada yang merasa mereka kekurangan waktu dan ada pula yang merasa kelebihan waktu. Ada yang merasa tidak punya waktu bahkan untuk sekedar makan sambil ngobrol, tetapi ada juga yang kebingungan bagaimana melewatkan semua waktu luangnya. Tentu, karena setiap orang memiliki kesibukan yang berbeda-beda.
Namun, Firman Tuhan mengajarkan satu hal, bahwa kita perlu menghitung hari-hari yang diberikan-Nya agar kita bisa hidup dengan bijaksana (Mazmur 90:12). Mengapa perlu dihitung? Karena waktu kita terbatas, dan waktu yang sudah lewat tidak bisa lagi kembali. Oleh karena itu, setiap detik waktu yang diberikan Tuhan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bahkan Yesus—selama hidup-Nya di dunia—pun hidup dengan kesadaran tentang betapa terbatasnya waktu. Dia pernah berkata, “Selama masih siang, kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku. Malam akan tiba, dan seorang pun tak akan dapat bekerja.” Tidak heran, dalam waktu yang singkat di dunia, Yesus mampu melakukan pelayanan yang efektif dan memenuhi misi-Nya untuk menggenapi karya penebusan Allah.
Jika benar-benar menghitung hari-hari kita seperti yang Tuhan perintahkan, berapa kira-kira waktu yang kita gunakan untuk bersekutu dengan Tuhan, untuk bekerja, untuk menjalin hubungan, dan untuk beristirahat? Lalu, apa hasil dari segala yang kita kerjakan itu? Wanita di Amsal 31 bukan sekedar wanita yang sibuk, tetapi wanita yang produktif—bahkan fruitful. Kita bisa melihat buah dari kesibukannya: makanan yang tersedia di meja makan, baju yang dipakai oleh anak-anaknya, nama suaminya dikenal, juga orang-orang miskin yang menerima pertolongannya. Wanita itu tidak melakukan ini dan itu hanya sekedar untuk melewatkan waktu, tetapi dia sedang menghasilkan sesuatu.
Lalu, apa saja yang bisa kita teladani dari wanita di Amsal 31 ini tentang manajemen waktu?
Tidak memakan makanan kemalasan
Dalam terjemahan lain, frase “tidak memakan makanan kemalasan” dalam Amsal 31:27 diterjemahkan sebagai “tidak membuang waktu”, “selalu sibuk”, dan “sibuk dan produktif”. Bagi saya pribadi, “tidak memakan makanan kemalasan” menunjukkan bahwa pilihan ada di tangan wanita itu. Seperti saat kita makan setiap hari, kita punya kebebasan untuk memilih menu apa yang akan kita nikmati. Kadang-kadang kita ingin makan daging, di lain waktu kita memilih makan sayur.
Demikian juga dengan waktu. Seperti halnya makan, cara kita dalam menggunakannya (entah dilewatkan begitu saja atau dimanfaatkan dengan maksimal) adalah pilihan. Perempuan di Amsal 31 memilih untuk “tidak memakan makanan kemalasan”, karena dia tahu apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya.
Bekerja dengan semangat dan sukacita
Penulis Amsal jelas-jelas menulis bahwa wanita di Amsal 31 ini senang bekerja dengan tangannya. Ini berarti dia tidak menganggap pekerjaannya sebagai beban. Mengapa bisa begitu? Di ayat lain disebutkan bahwa dia adalah seorang wanita yang takut akan Tuhan. Sebagai orang yang takut akan Tuhan, saya rasa wanita itu mengerti bahwa apapun yang dia kerjakan adalah pelayanan bagi Tuhan. Pemahaman ini membuatnya memiliki kekuatan untuk mengerjakan segala sesuatu dengan sepenuh hatinya, bukan dengan keluh kesah dan keterpaksaan.
Bagaimana suasana hati kita saat bangun pagi? Apakah seperti wanita Amsal 31, yang bersiap-siap dan “menggulung lengan bajunya” dan bersemangat untuk memulai hari? Atau justru merutuki hari karena matahari terbit yang artinya kita harus bekerja lagi? Mari kita mengikuti teladannya yang mengerjakan passion-nya dengan sukacita.
Menyadari tidak semua hal bisa dikerjakan
Salah satu prinsip yang menurut saya sangat penting dari wanita Amsal 31 adalah adanya kesadaran penuh bahwa dia tidak dapat melakukan semua hal sendirian. Di ayat 15, kita bisa melihat dia membagi-bagikan tugas kepada pelayan-pelayannya perempuan. Wanita itu tahu kapan harus melakukan sendiri pekerjaan rumah tangganya, dan kapan hanya mengawasi saja (Amsal 31:27). Ini bukan berarti bahwa kita harus punya asisten rumah tangga. Ini adalah tentang mengerti keterbatasan yang kita miliki: keterbatasan waktu, keterbatasan tenaga, keterbatasan pikiran, juga keterbatasan emosi.
Karena kita terbatas, tidak semua hal dapat kita kerjakan, sehingga ada waktunya untuk meminta tolong kepada orang lain, dan di sisi lain ada waktunya untuk mengatakan tidak kepada orang lain. Saya rasa, wanita di Amsal 31 ini terlihat tidak pernah mengalami burn out karena dia tahu kapan dan dalam hal apa dia harus meminta tolong kepada orang lain. Apa salahnya memesan makanan dari luar jika memang sedang lelah? Apa salahnya mencuci baju di binatu jika memang kita tidak punya waktu? Apa salahnya menolak pelayanan ke luar pulau jika di waktu yang sama kita baru saja pulang dari dinas luar kota?
Tidak lupa menyenangkan diri sendiri
Kalau kita perhatikan lagi, meskipun wanita di Amsal 31 ini senang bekerja dengan tangannya, tapi tidak semua yang dia kerjakan adalah untuk orang lain. Sebagai istri, hidupnya tidak melulu tentang keluarganya. Dia membuat pakaian untuk suami dan anak-anaknya, tapi dia tidak lupa membuat bagi dirinya sendiri permadani dan baju dari lenan halus dan kain ungu (Amsal 31:22). Dalam Alkitab versi the Message, wanita ini disebutkan suka merajut dan menjahit (Amsal 31:13) lalu menjual hasilnya ke toko (Amsal 31:24). Uang yang dia sisihkan, dia pakai untuk membeli ladang yang dia ingini membuat kebun (Amsal 31:16). Padahal, sebagai wanita di masa itu, dia tidak diharuskan mencari penghasilan tambahan. Dia melakukannya karena dia ingin menyenangkan dirinya, dengan melakukan apa yang dia sukai: menjahit, merajut, dan berkebun.
Menjadi sibuk dan produktif tidak sama dengan bekerja setiap waktu. Bahkan, Allah Bapa beristirahat pada hari ke tujuh setelah Dia selesai menciptakan dunia dan segala isinya. Di tengah kesibukan-Nya melayani sesama, Yesus pun punya waktu untuk diri-Nya sendiri—entah itu untuk bersekutu dengan Bapa-Nya, berinteraksi hanya dengan murid-murid-Nya, atau tidur untuk melepaskan lelah.
Dari keempat hal di atas, kita bisa mengevaluasi bagaimana selama ini kita menggunakan waktu. Setiap orang menggunakan waktu dengan berbeda, tergantung kepada peran dan kepribadian masing-masing. Ada yang bisa mengerjakan beberapa hal bersamaan, ada yang tidak. Ada yang terlalu sibuk karena dihantui rasa bersalah jika tidak melakukan sesuatu, tetapi ada pula yang hobi menunda-nunda dan memberikan terlalu banyak porsi untuk bersenang-senang. Namun, pada prinsipnya, Allah menghendaki hal yang sama dari semua orang: keterampilan untuk menghitung hari (memanfaatkan waktu) sehingga setiap kita memiliki hati dan kehidupan yang bijaksana.
Semoga hikmat Tuhan memampukan kita.