Sepucuk Surat untuk Lelaki di Hatiku
by Nidya Mawar Sari
Teruntuk suamiku yang satu-satunya,
hari ini adalah hari pernikahan kita yang ke-30. Ternyata sudah tiga dekade kita lewati, ya.
Aku masih ingat saat kamu mencuri hatiku 35 tahun silam. Masih terasa getaran di hatiku saat pertama kali kita bertemu. Kamu seorang pemain basket yang handal. Aku mengagumimu karena setiap bola yang hinggap di tanganmu hampir selalu melompat masuk ke dalam keranjang. Aku senang sekali menontonmu bertanding. Di situlah cinta kita mulai bersemi. Ya, dari malu-malu sampai mau sama mau.
Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya kamu menyatakan cintamu. Setelah itu, selama lima tahun kita membangun relasi yang tidak mudah sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah menikah, ke mana-mana kita selalu berdua. Apakah kamu ingat dengan sepeda motor hitam itu? Iya, sepeda motor yang membawa kita ke mana-mana di awal pernikahan kita, dan sudah cukup membuatku merasa bahagia selama mengendarainya bersamamu.
Sukacita kita bertambah saat anak pertama kita lahir. Kita sepakat menamainya Nada. Namun, ternyata anak perempuan ini menjadi titik awal perubahan hidup kita Sejak kelahirannya, semua perhatian tertuju padanya. Tak dipungkiri, kamu bukan lagi menjadi yang utama dalam hidupku. Tak jarang aku membiarkan kamu makan sendirian, tidur sendirian, bahkan bercinta pun aku tidak bergairah. Aku juga merasa tidak lagi spesial untukmu karena tidak ada lagi hadiah-hadiah di hari-hari penting kita. Terkadang aku cemburu setiap kali kamu begitu semangat untuk menyiapkan kejutan untuk anak perempuan kita yang mulai besar itu.
“Dia, kan, anakmu sendiri. Kok, malah cemburu sama anak sendiri?” bisikku dalam hati. Aku tahu situasi demikian sebenarnya tidak baik untuk dibiarkan, tetapi aku sendiri pun tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk memperbaikinya.
“Ah, nanti kalau Nada sudah besar, mungkin pasti aku dan suamiku bisa memulihkan relasi kami lagi.” Begitu pikirku waktu itu.
Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Makin besar, Nada justru makin menjadi sang ratu di rumah. Ketika kita pergi bersama, keinginannyalah yang selalu kita luluskan. Jujur saja, kadang-kadang aku merasa capek dan bosan makan yang itu-itu saja dan pergi ke tempat yang itu-itu melulu. Belum lagi perbedaan tentang cara mendidik anak-anak kita. Aku cenderung memilah apa yang bisa mereka turuti, sedangkan kamu ingin sekali memenuhi semua kemauan mereka. Mungkin hal itu kamu lakukan karena waktu kamu kecil, kamu tidak pernah mendapat apa yang kamu inginkan. Kamu tidak mau anak-anak susah hati sehingga semua permintaan mereka kamu luluskan. Aku jadi si pelit dan kamu jadi si murah hati. Aku pun sadar ada yang tidak beres dengan cara kita mendidik anak-anak. Namun, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Waktu-waktu berlalu begitu cepat, dan Tuhan memberikan kita anak perempuan kedua yang kita namai Melodi. Kehadiran Melodi memang menambah sukacita bagi kita. Namun, seperti Nada, Melodi pun hadir sebagai penghalang di antara kita. Relasi kita yang belum pulih sejak kehadiran Nada kian renggang sejak lahirnya Melodi. Aku tidak menyalahkanmu seutuhnya karena aku tahu terkadang akulah yang tidak lagi memperhatikanmu dengan sepenuh hati. Bukan karena aku tidak mau, tetapi energiku sudah terkuras untuk mengurus rumah dan anak-anak. Nada yang sudah sekolah membuat aku harus menemaninya belajar. Melodi yang sudah mulai berjalan, membuat aku tidak bisa lengah sedikit pun. Di waktu anak-anak tidur, aku menyiapkan makanan untuk mereka. Aku pikir, selama bisa mengerjakan tanggung jawabku di rumah, semua akan kembali baik-baik saja. Toh aku tidak ingin agar kamu—yang sudah lelah bekerja demi kami—makin jenuh di rumah dengan pekerjaan rumah tangga yang belum aku selesaikan. Namun, aku salah.
Suatu malam, aku merasa bahwa pernikahan kita sudah tidak ada rasanya lagi. Tidak ada lagi getaran di dalam hati saat kamu pulang dari kantor. Tidak ada lagi keinginanku juga untuk bersolek cantik untukmu. Demikian juga denganmu; tidak ada lagi perhatian dan surat yang dulu menghiasi hari-hariku. Yang ada hanya ucapan ketus yang pelan-pelan menyakiti hatiku. Tidak hanya itu, perilaku Nada dan Melodi juga makin lama makin egois. Apabila keinginan mereka tidak dituruti, Nada dan Melodi akan mengamuk sampai aku memberikan apa yang mereka minta. Hal ini tidak terjadi hanya sekali, melainkan berulang kali. Aku tersadar bahwa inilah buah dari cara kita memperlakukan mereka: Kita selalu memberikan apa yang mereka inginkan dengan alasan kita mengasihi mereka. Namun ternyata, kita mengasihi mereka dengan cara yang keliru. Semua menjadi sangat kacau. Aku pun tidak tahu bagaimana caranya bertahan satu hari lagi di rumah jika pernikahan kita ternyata sedingin itu. Ya, saat itu aku sangat ingin menyudahi pernikahan ini.
Di tengah kegalauanku, aku teringat akan pesan Firman Tuhan di hari pemberkatan pernikahan kita.
“Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Markus 10:9
Firman ini berbicara padaku untuk tidak menyerahkan pernikahan kita ke dalam perceraian, melainkan untuk mengusahakannya—bagaimana pun risiko yang harus kita hadapi di depan. Yah… setidaknya tidak ada salahnya untuk mencoba, kan?
Perlahan-lahan, aku memberanikan diri mendiskusikannya kepadamu, dan mengungkapkan semua uneg-uneg dalam hatiku saat itu. Tidak aku sangka, kamu bersedia mendengarkanku. Aku bersyukur kamu tidak mengelak pada apa yang sedang bergejolak dalam pernikahan kita, dan berusaha memahami apa yang aku rasakan. Setelah itu, kita sepakat untuk mencari seorang konselor. Bersyukur, ya, Tuhan mempertemukan kita dengan seorang konselor yang baik dalam pergulatan batin hari-hari itu. Dia tidak mencari-cari siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kasus kita, tetapi justru menolong kita untuk menyadari pola relasi yang tidak sehat dan men-track isu masa lalu yang terbawa dalam pernikahan ini. Entah kenapa, dalam salah satu sesi konseling itu, aku teringat pada satu nasihat Paulus kepada jemaat di Filipi.
Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.
Filipi 2:2b-4
Ayat 4 itu sendiri berbicara keras untukku:
“Janganlah kamu, Bunga, sebagai istri hanya memperhatikan kepentinganmu sendiri, tetapi kepentingan suamimu juga.”
Hari itu, kita belajar menjadi suami-istri yang menaruh pikiran dan perasaan kita seperti yang Kristus sudah lakukan, yaitu mengosongkan diri-Nya. Iya, Kristus sanggup melakukannya karena Dia adalah Anak Allah, tetapi kita—sebagai manusia yang terbatas—tidak akan bisa melakukannya tanpa pertolongan Roh Kudus. Bagaimana tidak? Aku tahu aku banyak berbuat keliru: Aku terlalu menuntut untuk dimengerti, padahal aku pun tidak memberikan perhatian yang kamu harapkan—dan kamu pun mengakuinya. Semua yang sudah telanjur ini memang menyebabkan kekacauan. Namun, aku bersyukur hari itu kita sepakat untuk memperbaikinya. Aku belajar untuk menganggap kamu lebih utama dariku, begitu juga sebaliknya. Aku sadar bahwa ini tidaklah terlepas dari anugerah dan belas kasihan Allah yang memampukan kita untuk memperjuangkan pernikahan kita.
Ternyata, memulihkan pernikahan itu tidak semudah yang kita pikirkan, ya. Kita sudah mencoba berulang kali, tetapi ada kalanya gagal. Usaha untuk memperbaiki relasi kita dan juga memperbaiki cara didik kita bukanlah sesuatu yang mudah. Aku masih ingat bahwa berkali-kali aku menangis karena putus asa. Aku juga melihat kamu begitu lelah. Berkali-kali pula kita menemui konselor kita dan mendapatkan semangat kembali. Aku juga masih ingat pertama kali kita bergandengan tangan berdua berdoa setelah bertahun-tahun kita berdoa masing-masing. Saat itu, aku tak kuasa menahan air mata yang tanpa izin mengalir ketika kamu bersedia kembali menggenggam tanganku dengan lembut. Saat itu, kita menyerahkan semua usaha kita kepada Tuhan. Mulai saat itu kita lebih sering berdoa dan saat teduh bersama. Aku juga melihat kamu tetap berusaha untuk memberikan kejutan-kejutan kecil. Yang paling aku ingat adalah boneka panda kecil di hari ulang tahunku yang ke 40 saat itu. Apalagi kamu dengan sengaja mau meluangkan waktu untuk chat menanyakan kabarku di rumah atau sekedar bertanya apakah aku sudah makan. Aku merasa disayang kembali. Aku pun berjuang untuk memberikan perhatian yang cukup untukmu. Mulai dari kembali memasak makanan kesukaanmu, meluangkan waktu untuk mengobrol berdua sebelum tidur, dan kembali belajar untuk memenuhi kebutuhan bahasa kasihmu yang—ternyata—selama ini telah aku lama abaikan. Dengan pertolongan Tuhan, kita berdua pelan-pelan mulai menikmati kembali saat-saat bermesraan yang sudah lama hambar. Iya, kita jatuh-bangun dalam membangun kembali rasa cinta yang sempat hancur itu, tetapi di waktu yang sama kita melihat ada Tuhan yang berkenan menolong kita.
Dengan relasi suami istri yang semakin baik, kita berdua mulai bisa berjuang meletakkan otoritas orang tua dan ketaatan anak di tempat yang seharusnya. Kita sepakat untuk tidak ada lagi si pelit dan si murah hati. “Kita harus kompak, ya,” ucapku suatu malam yang kamu sambut dengan senyuman setuju. Di dalam Tuhan, semua usaha kita tidak sia-sia. Kita makin kompak bukan hanya sebagai suami istri tetapi juga sebagai orang tua bagi Nada dan Melodi. Usaha kita mendidik anak-anak di dalam Tuhan juga membuahkan hasil. Pelan-pelan sikap Nada dan Melodi berubah: mereka bersedia untuk belajar menghormati dan menaati kita sebagai orang tua, dan mau terbuka ketika kita mendiskusikan sesuatu. Aku sangat bersyukur untuk perubahan itu.
Hari ini, Nada dan Melodi sudah tidak tinggal bersama kita. Mereka sudah menikah dan hidup bersama keluarga kecil mereka sendiri. Walaupun hanya berdua denganmu setiap hari, aku tidak merasa kesepian karena aku memiliki seorang suami yang selalu ada untukku. Aku sadar bahwa aku selalu dicintai, dan aku rindu terus membangun cinta bersamamu di dalam tuntunan Tuhan. Biarlah pernikahan kita menjadi teladan bagi Nada dan Melodi, iya, sebuah teladan yang kita juga pelajari dari Efesus 5:33:
Bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.
Aku sadar bahwa caraku memperlakukanmu menjadi satu standar bagi Nada dan Melodi dalam memperlakukan suami mereka. Begitu pula sebaliknya, caramu memperlakukan aku sebagai istri menjadi standar bagaimana Nada dan Melodi seharusnya diperlakukan oleh suami mereka. Sungguh indah memang kehidupan suami-istri di dalam caranya Tuhan.
Terima kasih sudah berjuang bersama-sama untuk pernikahan kita. Selamat hari pernikahan ke 30, Sayang. Aku sangat mencintaimu.
Aku, yang bersyukur menjadi istrimu,
Bunga