Sukacita oleh Kasih Karunia
by Glory Ekasari
Saya
sedang tidur-tiduran di kasur sambil memikirkan bahan untuk blog post ini. “Sukacita,” pikir saya. Apa yang akan
saya bahas tentang sukacita? Saya “browsing
folder” dalam ingatan saya, mencari
sesuatu untuk ditelaah. Sukacita, bahasa Yunaninya chara. Saya kok merasa ada kata lain yang terkenal yang mirip
dengan kata itu. Lalu saya ingat! Kata yang bertetangga dengan chara itu adalah charis, yang artinya... Kasih karunia.
Charis
bisa juga berarti syukur, namun makna mendasarnya adalah kasih karunia.
Pikirkan hal-hal itu: kasih karunia, ucapan syukur, sukacita... Saya tiba-tiba
melihat benang merah di antara mereka. Pemakaian awal kata chara dalam Perjanjian Baru adalah dalam kisah kelahiran Yesus.
Ketika para gembala sedang menjaga domba di padang, seorang malaikat menjumpai
mereka dan berkata:
“Jangan takut, sebab
sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:
Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.”
Jauh
sebelum peristiwa itu, nabi Yesaya telah bernubuat kepada bangsa Israel:
“Bangsa yang berjalan di dalam
kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri
kekelaman, atasnya terang telah bersinar. Engkau telah menimbulkan banyak
sorak-sorak, dan sukacita yang besar; mereka telah bersukacita di hadapan-Mu,
seperti sukacita di waktu panen, seperti orang bersorak-sorak di waktu
membagi-bagi jarahan.” —Yes. 9:2-3
Dari
mana kesukaan besar itu berasal? Bukan
dari banyak harta, bukan juga dari berbagai kesenangan yang ditawarkan dunia.
Kesukaan itu berasal dari Sang Juruselamat yang dijanjikan
Allah: Kristus Yesus, Tuhan. Mengapa kehadiran-Nya memberikan sukacita? Karena di dalam Yesus, kasih karunia Allah
dinyatakan bagi kita.
Firman itu telah menjadi
manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu
kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih
karunia dan kebenaran.
—Yohanes 1:14
Saya
ini termasuk tidak begitu ekspresif untuk ukuran cewek. Saya jarang sekali
tertawa terbahak-bahak dan
tidak pernah menangis histeris. Jangankan histeris, nangis aja jarang. Tapi ada satu hal
yang, setelah saya perhatikan, tidak bisa saya bicarakan tanpa memunculkan haru
dalam hati saya, bahkan kadang
sampai harus menahan nangis. Itu
adalah ketika saya menceritakan kasih Tuhan yang saya terima dalam Yesus. Saya
tidak bisa berkata, “Saya
orang berdosa, tapi Yesus mengasihi saya dan mati buat saya,” tanpa merasakan getaran dalam
hati saya. Bicara saya jadi terbata-bata dan air mata siap meluncur. Sukacita terdalam
yang saya rasakan mengalir keluar bersama dengan air mata, karena hati saya
dipenuhi ucapan syukur, karena saya telah menerima kasih karunia yang begitu
besar.
Sebagai
orang Kristen sekalipun, saya tidak lantas senang terus. Hidup kita tentu ada
senangnya, ada sedihnya, ada manis, dan ada pahitnya. Bersukacita bukan berarti
nyengir terus. Sukacita yang sejati adalah keadaan dimana duka tidak dapat
menguasai kita, dan kekecewaan tidak mengalahkan kita, karena kasih karunia
Allah memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus. Dalam sukacita ini,
kita dapat mengucap syukur, karena mata kita tidak tertuju pada masalah,
melainkan kepada Dia, the Author and
Finisher of our faith.
Di
gereja tempat saya beribadah, ada satu lagu yang dikenal baik oleh jemaat.
Liriknya berkata:
Bersuka!
Bersuka dalam Tuhan
Mari bersuka! Bersukacitalah!
Mari bersuka! Bersukacitalah!
Bersukacita
dalam Tuhan. Kesukaan besar datang
ketika Juruselamat, yang penuh kasih karunia dan kebenaran, tinggal dalam hati
kita. Di luar Yesus, kita bisa mendapatkan kesenangan dan kepuasan yang
sifatnya sementara. Di dalam Yesus, sukacita yang kita miliki tidak terbatas,
karena seperti Paulus, kita dapat berkata,
“..aku
yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, ...tidak akan dapat memisahkan kita dari
kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”