Where Joy is at?
by Glory Ekasari
Di rumah saya ada seorang tukang kebun yang juga
membantu jaga malam di gereja. Tiap kali orang tua saya mendapat makanan dari
acara yang mereka hadiri, kami sering memberikan sebagian untuk dia. Tapi
lama-lama kami sadar bahwa kalau diberi lauk daging atau ayam, dia tidak pernah
makan. Usut punya usut, ternyata dia.... sakit gigi! Anehnya, dia tidak mau ke
dokter gigi, katanya karena takut. Jadilah sakit gigi itu dipelihara sekian
lama.
Menurut saya sih aneh. Ke dokter gigi memang terkesan
seram (maaf ya yang dokter gigi), tapi daripada terhalang makan, ya lebih baik
menahan ngilu dan sakit sekejap lah. Toh setelah itu gigi jadi sehat lagi, rasa
sakit hilang secara permanen, dan kita bebas makan apapun yang kita mau.
Kadang kita juga begitu dalam mencari kebahagiaan.
Kita justru menghindari tempat di mana kebahagiaan dan sukacita ada, seperti
orang yang tidak mau giginya diobati dan memilih tetap sakit gigi. Aneh,
memang. Tapi tentu kita lalu bertanya, “Memangnya di mana ada sukacita?”
Kata dunia, sukacita itu adanya di sekitar
teman-teman. Atau, kalau tidak punya teman, sukacita itu ada di berbagai macam
kesenangan yang mereka tawarkan. Atau bisa juga seks, seks menawarkan
kebahagiaan, katanya. Oh, uang juga bisa membawa sukacita! Being on the top of the world juga pasti dong, membawa sukacita.
Apa itu betul? Raja Salomo menulis panjang lebar tentang segala kekayaan dan
kenikmatan yang dia nikmati—uang, kemegahan, penundukan dari raja-raja lain,
hiburan, seks, bahkan hobi berkebun—dan dia berkata, “Aku tidak menghalangi
mataku dari apapun yang ingin dilihatnya”—sounds
a lot like hedonism. Kesimpulannya? “Segala sesuatu adalah kesia-siaan.”
At the end of
the day, it’s just you―yourself. And what will you do with that empty heart
burdened with sorrow? What can other people do for you, when the problem is not
with your body, but with your soul? “Find happiness inside you,” they say.
Where?
Suatu kali ketika mama saya berkhotbah di gereja
tempat kami beribadah, dia membagikan kesaksiannya dan menyimpulkan demikian,
“Saudara, kalau Saudara ada masalah, jangan tinggalkan Tuhan, jangan libur ke
gereja. Justru cari Tuhan! Datang ke
rumah Tuhan, dengarkan firman Tuhan, berdoa dan cari Tuhan lebih
sungguh-sungguh lagi.”
“Cari Tuhan lebih
sungguh-sungguh lagi.” Banyak orang malas dalam
persekutuan mereka dengan Tuhan. Berdoa sebentar dan tidak merasakan apa-apa,
berhenti berdoa. Kita perlu belajar dari tokoh-tokoh Alkitab yang bersikeras bertemu dengan Tuhan secara
pribadi. Daud menyukai frasa “siang dan malam”, yang menunjukkan kesungguhannya
dalam mencari Tuhan. Paulus dan Silas yang dipenjara di Filipi, bukannya
nelangsa dengan nasib mereka atau tidur nyenyak, malah memuji Tuhan di tengah
malam—sampai terjadi mujizat bagi mereka dan keselamatan bagi kepala penjara.
Menjelang pertemuan dengan Esau, Yakub bergumul secara fisik dengan Malaikat
Tuhan, karena dia begitu ngotot, sehingga terucap kata-kata yang terkenal, “Aku
tidak akan melepaskan Engkau sebelum Engkau memberkati aku.” Kapan terakhir
kali kita berkata demikian kepada Tuhan? Sebagaimana lirik sebuah hymne yang
terkenal:
Savior,
Savior, hear my humble cry
While on others Thou art calling,
Do not pass me by!
While on others Thou art calling,
Do not pass me by!
Semua
orang yang mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh menemukan-Nya, karena itu
adalah janji-Nya. Kalau ada janji yang diulang-ulang dalam Alkitab, dan yang
terlalu sedikit kita manfaatkan, itu adalah janji Tuhan bahwa mereka yang
sungguh-sungguh mencari Dia pasti
menemukan-nya:
“Apabila
kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku;
Apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati.”
—Yeremia 29:13
Apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati.”
—Yeremia 29:13
“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan
kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
—Matius 6:33
“Mintalah,
maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka
pintu akan dibukakan bagimu.” —Lukas 11:9
Apa yang kita temukan ketika kita akhirnya bertemu
dengan Dia? Daud memberitahu kita apa yang dia temukan ketika berhadapan dengan
Tuhan:
“Di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah.”
“Sukacita berlimpah-limpah.” Bukan hanya “ada
sukacita”, tetapi “ada sukacita berlimpah-limpah”!