Joy vs. Happiness
by Poppy Noviana
Apa
sih, perbedaan dua hal di atas? Secara fisik sih, terlihat sama, bahkan bisa
dibilang mirip. Contoh: wajahnya sama-sama sumringah, matanya sama-sama
berbinar-binar, hidungnya kembang kempis, kakinya melompat-lompat dan reaksinya
menari-nari.
Lantas
apa dong, bedanya?
Beberapa
fakta dapat menggambarkannya. Salah satunya adalah dari seseorang yang tidak
pernah bahagia di dalam hidupnya, sekalipun ia kaya dan cakap secara fisik. Dia
merasa happy saat menghabiskan waktu
dan uangnya untuk berfoya-foya, namun tetap saja
dia akan kembali murung dan hampa.
Sebaliknya,
seseorang yang hidup sederhana
bisa lebih bahagia dan merasakan kehidupan yang utuh sepenuhnya. Bahkan dia
bisa bersyukur saat ditimpa kesukaran, bisa memberi saat dia sendiri membutuhkan
sesuatu, dan—yang lebih ekstrem lagi—dia bisa tersenyum kepada musuh yang
menganiayanya. Kok, bisa gitu ya? Well,
inilah yang disebut dengan sukacita (joy).
Matius 5:3-12 (TB) berkata begini,
"Berbahagialah
orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan
Sorga.
Berbahagialah
orang yang berdukacita, karena
mereka akan dihibur.
Berbahagialah
orang yang lemah lembut, karena
mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah
orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan
dipuaskan.
Berbahagialah
orang yang murah hatinya, karena
mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah
orang yang suci hatinya, karena
mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah
orang yang membawa damai, karena
mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah
orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran,
karena merekalah yang empunya Kerajaan
Sorga.
Berbahagialah
kamu, jika karena Aku kamu dicela
dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan
segala yang jahat.
Bersukacita
dan bergembiralah, karena upahmu besar
di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum
kamu."
Anjuran
“berbahagialah” di atas merupakan suatu kondisi yang diajarkan dalam Alkitab—namun
tidak dapat dicerna dengan mudah dengan logika. Sangat berkebalikan dan sukar
dipahami. Sukacita
(joy)
yang sebenarnya àdalah berasal dari dalam diri manusia yang diputuskan secara
sadar oleh individu tersebut. Sukacita seharusnya bersifat kekal karena kondisi apapun
tidak dapat mempengaruhi seberapa besar sukacita yang dapat kita terima dan
rasakan dari Allah. Maka bersukacita dan
bersyukurlah, sebab Allah menghendakinya.
Berbeda
dari sukacita, kebahagiaan
(happiness)
berasal dari luar diri manusia dan merupakan sebuah akibat yang dipengaruhi
atas sesuatu atau seseorang. Kebahagiaan
bersifat sementara karena tergantung pada suatu hal.
Kebenaran
lainnya yang dapat kita renungkan adalah, “Hati
yang gembira adalah obat (Amsal
17:22). Bagaimana mungkin dalam kesakitan dan kondisi tidak baik, Allah
malah menyuruh kita untuk memiliki hati yang gembira?
Itu
artinya Allah tahu persis bahwa kegembiraan dan sukacita itu bukan berasal dari
luar tapi dari keputusanmu untuk bergembira dalam hati. Memang terlalu banyak
alasan untuk merampas sukacita itu dari dalam hati dan ini merupakan kesukaan
ilah-ilah zaman ini melalui roh-roh pemecah belah dan perpecahan yang
mengintimidasi hati dan pikiran kita. Namun ingatlah, terlalu banyak kebenaran dan juga bukti yang dapat disadari untuk
membantu kita bersukacita dalam hidup ini yang telah dianugerahkan oleh-Nya.
Filipi 4:8 (TB) pun
berkata, “Jadi akhirnya, saudara-saudara,
semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua
yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut
dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”