When the Good Things Shattered
by Nidya Mawar
Hari itu, kami mengadakan aktivitas mewarnai dengan cat air. Saya siapkan cat air beraneka warna dalam wadah untuk cat air sehingga warna-warna cerah itu tidak tercampur. Karena ada urusan, saya tinggalkan balita saya dengan kertas gambar dan cat airnya. Saat saya kembali, saya menemukan semua cat itu sudah tercampur jadi satu dan kertas gambar yang ga keruan bentuknya. Sudah tidak terlihat lagi yang mana yang warna kuning, merah, biru, hijau, ungu, jingga, pink, cokelat, atau hitam. Semua terlihat sama, yaitu hitam.
Begitulah ketika dosa masuk ke dalam dunia. Padahal dalam Kejadian 1 dan 2—yang merupakan dua pasal pembuka Alkitab—menggambarkan keindahan dan kebaikan seluruh ciptaan Tuhan, “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik (Kejadian 1:31a). Sekalipun dunia dan segala isinya ini Tuhan ciptakan dengan sangat baik, sebenarnya yang paling indah di antara semuanya itu bukanlah jenis binatang dan tumbuhan yang unik dan beragam, bukan juga indahnya langit dan semua benda langit di dalamnya. Yang paling indah dari segalanya adalah relasi antara manusia—ciptaan yang paling mulia dan istimewa—dengan Tuhan, Sang Pencipta. Berada dalam satu taman yang indah bersama Tuhan dan mendengar suara Tuhan secara langsung menggambarkan Tuhan yang berelasi dengan manusia. Namun, ketika manusia memilih untuk lebih percaya dengan apa yang Iblis katakan, maka dosa masuk dalam hidup manusia dan merusak keindahan relasi antara mereka dan Tuhan. Ya, manusia memilih memberontak karena ingin menentukan standar kebenarannya sendiri, bukannya mengikuti standar yang telah Tuhan tetapkan.
“Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada di dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi” —Kejadian 3:10
Sejak manusia berdosa, kehadiran Tuhan tidak lagi menjadi sesuatu yang manis bagi manusia, melainkan sesuatu yang menakutkan. Inilah situasi yang menunjukan manusia dalam keberdosaannya tidak dapat bersatu dengan Tuhan dalam kekudusan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak bisa berada bersama-sama dengan Tuhan lagi. Mereka diusir dari Taman Eden, terpisah dari Tuhan, dan harus bekerja keras untuk bertahan hidup.
Bukan hanya Adam dan Hawa yang mengalami keterpisahan ini. Satu ketidaktaatan yang mereka lakukan membuat semua orang di dunia ini menjadi berdosa. Di dalam Perjanjian Baru, Paulus menulis demikian, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Roma 5:12) Jelas dikatakan bahwa semua orang— orang baik, orang jahat, orang miskin, orang kaya, orang terkenal, orang hebat, orang pintar, termasuk saya dan Pearlians—adalah orang berdosa. Sama seperti cat air warna warni yang sudah tercampur dengan warna hitam itu, menjadikan semua cat menjadi hitam, demikianlah kita semua adalah orang berdosa di hadapan Tuhan. Namun, seberapa mengerikannya dosa itu bagi manusia, sampai topik seperti ini diangkat di sini?
Dalam keberdosaan sebagai manusia, kita tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan diri kita sendiri dari hukuman dosa selama-lamanya dalam api neraka.
Dalam keberdosaan sebagai manusia, kita pun enggan melakukan apa yang Tuhan mau kita lakukan.
Dalam keberdosaan sebagai manusia, kita lebih suka melakukan apa yang menurut kita baik dan benar, sama seperti Hawa yang melihat bahwa buah yang Tuhan larang itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, bahkan Adam juga tidak mencegahnya untuk berbuat lebih jauh. Jelas-jelas Tuhan melarang.
Padahal sebenarnya apa yang dilarang oleh Tuhan tidak perlu dilihat-lihat dan ditimbang-timbang lagi. Tidakkah ini menjadi pergumulan terbesar bagi manusia berdosa yang tahu melakukan apa yang baik, tetapi justru melakukan apa yang sebaliknya? Akibatnya, manusia rusak seutuhnya; relasinya dengan diri sendiri, sesama, bahkan Tuhan tidak bisa kembali seperti sedia kala. Makin manusia melakukan apa yang baik menurut pandangannya sendiri, dia pun makin manusia jauh dari Tuhan, dan makin rusaklah gambar dan rupa Allah dalam dirinya. Manusia tidak lagi merefleksikan segala karakter Allah, melainkan—sebaliknya—merefleksikan gambaran si jahat.
Jika demikian, masihkah ada harapan agar kita diselamatkan dan mengalami pemulihan?
Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Walaupun Allah membenci dosa yang manusia lakukan, tetapi kasih-Nya tetap ada bagi mereka. Salah satu buktinya adalah ketika Dia menyediakan pakaian dari kulit binatang untuk menutupi kemaluan Adam dan Hawa, yang artinya ada binatang yang dikurbankan sehingga kulitnya bisa digunakan sebagai pakaian mereka. Cara ini menjadi lambang penebusan manusia yang kelak Allah lakukan, yaitu melalui pengurbanan Anak-Nya yang Tunggal, Tuhan kita Yesus Kristus. Hanya Dia, Anak Domba Allah, yang menjadi kurban sempurna yang disembelih bagi penghapusan dosa manusia. Hanya di dalam Dia kita dimampukan untuk melakukan apa yang baik dan berkenan kepada Tuhan. Pertanyaannya, kehidupan seperti apa yang Dia inginkan untuk kita jalani?
Temukan jawabannya di artikel-artikel Pearl sepanjang tahun ini! Pearl akan menemani Pearlians untuk menghidupi kehidupan di dalam kekudusan di seluruh aspeknya. Let’s join us!